Kenapa Rasanya Orang Sekarang Makin “Bodoh”: Bukan Karena Otaknya Turun, Tapi Karena Polanya Rusak

Nalar Publik di Era Viral: Emosi, Identitas, dan Algoritma

Portalone.net – Keluhan bahwa “orang sekarang makin bodoh” sering muncul dalam percakapan publik. Namun, dari sudut pandang akademik, pernyataan tersebut lebih tepat dipahami bukan sebagai penurunan kapasitas intelektual individu secara biologis, melainkan sebagai pergeseran ekologi informasi dan kebiasaan kognitif yang memengaruhi cara orang menilai, menyimpulkan, dan bertindak.

Artikel ini membahas beberapa mekanisme yang menjelaskan mengapa kualitas penalaran publik tampak menurun: meningkatnya reaktivitas, penyederhanaan berlebihan, dan melemahnya norma verifikasi.

1. Kerangka Konseptual: “Kebodohan” sebagai Gejala, Bukan Sifat

Dalam kajian psikologi kognitif dan ilmu komunikasi, kesalahan berpikir lebih sering dipandang sebagai hasil interaksi antara:

  1. keterbatasan kognitif manusia (mis. perhatian terbatas, heuristik),
  2. struktur lingkungan informasi (mis. media sosial, algoritma), dan
  3. insentif sosial (validasi, identitas kelompok, status).

Dengan kerangka ini, gejala “ketololan” dapat dipahami sebagai ketidakselarasan antara kompleksitas masalah modern dan kebiasaan berpikir yang dibentuk oleh lingkungan serba cepat.

2. Ekologi Informasi dan Overload: Banyak Informasi, Sedikit Pemrosesan

Lingkungan digital menghasilkan kelimpahan informasi yang melampaui kapasitas atensi manusia. Saat beban informasi tinggi, individu cenderung:

  • mengandalkan pemrosesan cepat (heuristik),
  • memilih sumber yang mudah dikonsumsi (headline, potongan video),
  • menukar kedalaman analisis dengan efisiensi.

Akibatnya, proses verifikasi melemah: orang lebih sering “percaya karena familiar” atau “percaya karena viral” ketimbang karena bukti yang solid.

3. Dominasi Pemrosesan Heuristik dan Penurunan “Cognitive Effort”

Banyak keputusan dan opini publik dibentuk oleh heuristik seperti:

  • availability heuristic: sesuatu terasa benar karena sering terlihat,
  • representativeness: menyimpulkan dari contoh kecil seolah mewakili populasi,
  • halo effect: menganggap pesan benar karena pembawanya disukai/berstatus.

Secara praktis, ini menjelaskan mengapa pernyataan dangkal tetapi repetitif bisa mengalahkan argumen yang lebih benar namun kompleks. Ketika “usaha berpikir” dipersepsikan mahal (melelahkan, butuh waktu), masyarakat beralih ke shortcut kognitif.

4. Insentif Media Sosial: Kecepatan Mengalahkan Ketepatan

Platform digital memberi ganjaran pada:

  • respons cepat,
  • opini tegas,
  • konten yang memicu emosi.

Insentif semacam ini memproduksi kultur “reaktif”:

  • orang terdorong berkomentar sebelum paham,
  • akurasi dikorbankan demi keterlibatan (engagement),
  • nuansa dan konteks dianggap mengganggu narasi.

Konsekuensi akademiknya adalah pelemahan norma epistemik: kebenaran kalah bersaing dengan keterlihatan.

5. Identitas Kelompok dan Polarisasi: Opini sebagai Loyalitas

Dalam psikologi sosial, keyakinan sering berfungsi sebagai penanda identitas. Di ruang publik, opini tidak selalu dipakai untuk memahami realitas, melainkan untuk:

  • menunjukkan keberpihakan,
  • mencari afiliasi,
  • menjaga status dalam kelompok.

Ini memunculkan fenomena “motivated reasoning”: orang menilai bukti bukan untuk menemukan yang benar, tetapi untuk mempertahankan posisi yang sudah diambil. Koreksi fakta sering diterima sebagai serangan identitas, sehingga muncul respons defensif (menyerang balik, menggeser topik, atau mendiskreditkan sumber).

6. Emosi sebagai Kompas Epistemik

Budaya online memfasilitasi respons emosional instan. Secara kognitif, emosi dapat membantu pengambilan keputusan, tetapi menjadi problematik ketika dipakai sebagai standar kebenaran:

  • “Kalau membuat marah, berarti salah,”
  • “Kalau sesuai nilai saya, berarti benar.”

Dalam kajian literasi media, ini terkait dengan rendahnya kemampuan membedakan:

  • reaksi afektif (perasaan terhadap informasi) dan
  • evaluasi evidensial (kekuatan bukti).

Akibatnya, klaim yang memicu emosi kuat lebih mudah dianggap “pasti benar”.

7. Normalisasi Anti-Intelektualitas Ringan

Di banyak konteks, muncul norma sosial yang meremehkan proses berpikir mendalam:

  • membaca panjang dianggap “kebanyakan teori,”
  • kehati-hatian dianggap “tidak tegas,”
  • mengaku tidak tahu dianggap “lemah.”

Padahal, dalam tradisi akademik, kemampuan mengatakan “saya belum cukup data” adalah indikator kedewasaan intelektual. Normalisasi anti-intelektualitas ini membuat masyarakat semakin jarang melatih keterampilan: menyusun argumen, memeriksa asumsi, dan menguji bukti.

8. Mengapa Terasa “Makin Parah”?

Ada dua alasan tambahan mengapa fenomena ini terasa meningkat:

  1. Visibility bias: konten ekstrem, salah, atau memancing emosi lebih menonjol di feed.
  2. Amplification effect: kesalahan yang dulu lokal kini terdokumentasi, disebar, dan diperkuat lintas komunitas.

Jadi, bukan semata jumlah orang yang “lebih buruk,” melainkan mekanisme penyebaran dan penguatan perilaku kognitif yang bermasalah menjadi jauh lebih efektif.

Secara akademik, persepsi bahwa “orang sekarang makin bodoh” lebih tepat dipahami sebagai penurunan kualitas penalaran publik akibat kombinasi overload informasi, insentif platform, dominasi heuristik, polarisasi identitas, dan norma sosial yang tidak mendukung verifikasi. Ini adalah masalah struktural-kultural, bukan sekadar problem “orangnya.”

Implikasi dan Rekomendasi Singkat

Untuk memperbaiki kualitas berpikir publik, intervensi yang relevan meliputi:

  • literasi media (verifikasi, cek sumber, konteks),
  • pembiasaan “slow thinking” (menunda respons, membaca utuh),
  • desain platform yang menekan misinformasi dan clickbait,
  • penguatan norma diskusi: argumen berbasis bukti, bukan serangan personal,
  • pendidikan yang melatih penalaran (bukan sekadar hafalan).

Pada akhirnya, tantangan era ini bukan kekurangan informasi, melainkan kekurangan disiplin epistemik: kebiasaan kolektif untuk memeriksa, menimbang, dan bersedia merevisi keyakinan. (one)

Print Friendly
Catatan Penting: Tulisan ini dilindungi oleh hak cipta. Dilarang keras mengambil, menyalin, atau menyebarluaskan isi tulisan tanpa persetujuan tertulis dari media atau penulis.

Pos terkait

Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments