Portalone.net – Pemerintah mulai mengarahkan sorotan ke sektor korporasi setelah rangkaian banjir bandang dan longsor di sejumlah wilayah Sumatera memantik pertanyaan publik: apakah ini semata bencana hidrometeorologi, atau buah dari pembukaan lahan dan tata kelola kawasan yang ugal-ugalan?
Langkah terbaru datang dari Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) yang dilaporkan tengah menyelidiki 31 perusahaan di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat yang diduga berkontribusi pada kerusakan ekologis pemicu banjir. Sementara itu, Kejaksaan Agung juga disebut telah merinci daftar perusahaan yang diduga terkait bencana banjir dan longsor di wilayah tersebut.
Di lapangan, penindakan administratif pun mulai tampak. Kementerian Kehutanan dilaporkan telah menyegel empat perusahaan serta tujuh pemegang hak atas tanah (PHAT) yang diduga terkait, dan desakan agar kasus dibawa ke ranah pidana ikut menguat dari parlemen. Kementerian Lingkungan Hidup juga dikabarkan melakukan penyegelan terhadap sejumlah perusahaan dan mendorong langkah lanjutan, termasuk pencabutan izin lingkungan pada kasus tertentu.
Jejak dari langit: citra satelit jadi pintu masuk
Salah satu bahan yang disebut dipakai untuk menelusuri perubahan bentang alam adalah rekaman citra satelit yang menunjukkan pembukaan lahan dalam rentang 2016–2025 di beberapa area yang kini rawan banjir. Temuan-temuan semacam ini biasanya menjadi “peta awal” untuk memeriksa apakah ada kegiatan yang melanggar izin, merambah kawasan hutan, atau mengabaikan kewajiban perlindungan daerah aliran sungai (DAS).
Tiga lapis sanksi: administrasi, ganti rugi, sampai penjara
Jika penyidikan membuktikan adanya pelanggaran, jalur sanksi yang menanti korporasi umumnya berlapis.
Pertama, sanksi administratif. Ini bisa berupa penyegelan, penghentian kegiatan, hingga pencabutan perizinan—langkah yang kini mulai terlihat lewat penyegelan sejumlah entitas yang disebut pemerintah.
Kedua, gugatan perdata dan pemulihan lingkungan. Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU 32/2009) mengatur kewajiban pelaku usaha yang merusak lingkungan untuk membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu (pemulihan). Preseden penegakan juga sudah ada: KLH/BPLH melaporkan kemenangan gugatan ganti rugi lingkungan dengan nilai total lebih dari Rp721 miliar disertai kewajiban pemulihan dalam perkara kerusakan lingkungan (meski konteksnya karhutla), menunjukkan jalur perdata bisa berujung tagihan besar dan tindakan pemulihan yang mengikat.
Ketiga, pidana korporasi. UU 32/2009 membuka ruang pertanggungjawaban pidana bagi korporasi dan/atau pengurusnya dalam kasus tindak pidana lingkungan, tergantung pembuktian unsur dan perannya.
Tantangan utama: membuktikan “sebab” di tengah cuaca ekstrem
Pembuktian hukum tak berhenti pada “ada banjir, ada perusahaan”. Penegak hukum harus mengurai rantai sebab-akibat: perubahan tutupan lahan, gangguan tata air, pelanggaran izin, hingga dampak yang relevan secara hukum terhadap banjir di lokasi tertentu. Karena itu, penelusuran biasanya menggabungkan audit perizinan, pengecekan batas kawasan, data hidrologi, hingga bukti ilmiah seperti citra satelit.
Di sisi lain, dorongan transparansi mengemuka. Sejumlah pihak meminta identitas korporasi yang ditindak dibuka jelas agar prosesnya akuntabel dan tidak berhenti pada penyegelan simbolik.
Jika rangkaian penyelidikan ini berujung pada perkara pidana dan gugatan ganti rugi, Sumatera bisa menjadi panggung uji: seberapa jauh negara berani menagih pertanggungjawaban korporasi bukan hanya untuk “biaya banjir”, tetapi untuk memulihkan ekosistem yang sudah telanjur rusak. (one)







