Portalone.net – Kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2026 di sejumlah daerah kembali memunculkan pertanyaan lama: apakah pekerja dengan gaji setara UMP bisa memiliki rumah. Perhitungan kasar menunjukkan, kepemilikan rumah lewat skema subsidi masih mungkin untuk sebagian pekerja terutama di wilayah dengan UMP tinggi namun membeli rumah komersial di kota besar tetap jauh dari jangkauan.
Di DKI Jakarta, Pemprov menetapkan UMP 2026 sebesar Rp5.729.876 dan berlaku mulai 1 Januari 2026. Dengan asumsi panduan umum OJK bahwa cicilan utang idealnya maksimal 30% penghasilan bulanan, ruang cicilan pekerja bergaji UMP Jakarta berada di kisaran Rp1,72 juta per bulan.
Pemerintah melalui program KPR subsidi FLPP menawarkan bunga tetap 5% dan tenor hingga 20 tahun. Untuk wilayah Jabodetabek, harga rumah subsidi dibatasi maksimal Rp185 juta (ketentuan mulai 2024 dan berlaku seterusnya pada Kepmen PUPR 689/2023).
Dalam simulasi pemerintah, cicilan rumah subsidi di Jabodetabek untuk harga maksimal Rp185 juta (DP 1%, bunga tetap 5%) adalah sekitar Rp1.208.709 per bulan untuk tenor 20 tahun. Angka ini masih berada di bawah batas 30% UMP DKI Jakarta (sekitar Rp1,72 juta), sehingga secara rasio cicilan, skema subsidi relatif memungkinkan bagi pekerja UMP Jakarta meski tetap bergantung pada biaya hidup, status kerja, dan kelayakan kredit.
Syarat pendapatan untuk ikut FLPP juga ditetapkan berbasis zonasi. Untuk Zona 4 (Jabodetabek), batas penghasilan maksimal tercantum sampai Rp12 juta–Rp14 juta (tergantung status belum menikah/menikah/peserta Tapera). Artinya, pekerja UMP pada umumnya masih termasuk kelompok yang memenuhi syarat pendapatan program.
UMP rendah: cicilan subsidi berpotensi “berat”
Gambaran berbeda muncul di daerah dengan UMP lebih rendah. Okezone, yang merangkum UMP 2026 di 36 provinsi, menyebut UMP terendah berada di kisaran Rp2,31 juta. Dengan patokan cicilan 30%, ruang cicilan pekerja pada level itu sekitar Rp693 ribu per bulan.
Sementara itu, untuk Zona 1 (Jawa non-Jabodetabek dan sebagian Sumatera), batas harga rumah subsidi maksimal Rp166 juta (mulai 2024). Simulasi cicilan pemerintah untuk tenor 20 tahun berada di kisaran Rp1.084.571 per bulan.
Nilai cicilan tersebut melampaui 30% dari UMP Rp2,31 juta, sehingga kepemilikan rumah subsidi bagi pekerja berupah minimum di daerah ber-UMP rendah cenderung menuntut pendapatan tambahan (misalnya pasangan bekerja, usaha sampingan) atau kondisi kredit yang sangat kuat.
Rumah komersial di kota besar: tetap sulit dijangkau UMP
Di luar skema subsidi, harga rumah komersial di kota besar menjadi hambatan utama. ANTARA, mengutip data Rumah123, menyebut rentang harga rumah di Jakarta Timur pada 2025 berada sekitar Rp980 juta hingga Rp3,75 miliar. Dengan level tersebut, pekerja bergaji UMP bahkan UMP Jakarta umumnya tidak akan memenuhi kebutuhan DP dan cicilan KPR komersial, terutama ketika bunga mengikuti kondisi pasar.
Kenaikan UMP 2026 dan formula baru
Penetapan UMP 2026 mengacu pada PP Nomor 49 Tahun 2025 yang mengubah mekanisme pengupahan, termasuk penggunaan indeks alfa dalam rentang 0,5–0,9 bersama variabel inflasi dan pertumbuhan ekonomi daerah. Namun kenaikan UMP tersebut tidak otomatis mengejar kenaikan harga rumah, terutama di kawasan urban dengan lahan terbatas.
Pemerintah juga menyampaikan rencana peningkatan kuota rumah subsidi, dengan target 500.000 unit pada 2026 untuk mengurangi backlog. Meski begitu, ketersediaan unit, lokasi (sering di pinggiran), serta kesiapan infrastruktur dan transportasi tetap menjadi faktor penentu apakah rumah subsidi benar-benar “terjangkau” dari sisi biaya total hidup.
Dengan UMP 2026, pekerja berpeluang memiliki rumah terutama lewat jalur subsidi (FLPP) dan lebih realistis di wilayah ber-UMP tinggi. Untuk pekerja di daerah ber-UMP rendah apalagi bila mengandalkan satu penghasilan beban cicilan rumah subsidi pun masih berpotensi berat, sementara rumah komersial di kota besar tetap berada di luar jangkauan.






