212 Merek Beras Diduga Oplosan, Pengamat Soroti Sistem Rusak dan Lemahnya Pengawasan

Tumpukan Karung Beras Bermerek di Gudang Oplosan

BISNIS – Pemerintah mengungkap skandal besar di sektor pangan. Sebanyak 212 merek beras medium dan premium di 10 provinsi diduga merupakan hasil pengoplosan. Temuan ini berawal dari penggerebekan gudang beras ilegal di Kecamatan Cikeusal, Kabupaten Serang, Banten oleh pihak kepolisian.

Dalam penggerebekan tersebut, polisi menemukan modus pemutihan beras Bulog yang kemudian dikemas ulang menggunakan merek Ramos dan label bantuan pangan dari Badan Pangan Nasional (Bapanas). Beras oplosan itu diketahui telah dipasarkan ke sejumlah daerah, seperti Bogor, Tangerang, Serang, dan Cilegon sejak 2019. Para pelaku meraup keuntungan hingga Rp732 juta hanya dalam kurun waktu Desember 2023 hingga Maret 2024.

Kementerian Pertanian (Kementan) turut melakukan uji laboratorium terhadap 268 sampel beras dari 212 merek yang tersebar di pasaran. Hasilnya mencengangkan: sebanyak 85,56 persen beras premium tidak sesuai dengan standar mutu nasional. Selain itu, 59,78 persen dijual di atas harga eceran tertinggi (HET), dan 21,66 persen memiliki berat di bawah yang tercantum pada kemasan.

Kondisi serupa juga ditemukan pada kategori beras medium. Kementan mencatat 88,24 persen beras medium tak memenuhi standar mutu SNI, 95,12 persen dijual melebihi HET, dan 9,38 persen mengalami pengurangan berat kemasan.

Pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Khudori, menilai persoalan ini tidak sekadar kriminalitas, tetapi cerminan rusaknya sistem tata niaga beras nasional. Ia menyebut ketimpangan antara harga pembelian pemerintah (HPP) untuk gabah kering panen (GKP) dengan HET beras sebagai biang keladi.

“Ketika HPP GKP naik jadi Rp6.500 per kilogram, sementara HET-nya tidak ikut naik, itu menciptakan celah. Penggilingan padi banyak yang tutup, sementara produsen mencari cara untuk tetap untung termasuk dengan mengoplos,” ujar Khudori, Senin (14/7).

Ia menyebut fenomena ini sebagai “kejahatan berjemaah” akibat regulasi yang tak sinkron, dan mendesak pemerintah melakukan introspeksi menyeluruh.

Sementara itu, Eliza Mardian dari Center of Reform on Economics (Core) menyebut lemahnya pengawasan distribusi menjadi faktor penting. Ia menyoroti kebocoran besar dalam distribusi beras program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) dari Bulog.

“Sebanyak 80 persen bocor, hanya 20 persen sampai ke tangan yang berhak. Pengawasan lemah, dan ada perusahaan besar yang diduga terlibat,” kata Eliza.

Eliza mengusulkan pembentukan satuan tugas khusus pemberantasan mafia beras yang bekerja lebih detil dari Satgas Pangan saat ini. Ia juga mendorong peran lebih besar dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dalam pengawasan pangan.

Dari sisi regulasi, pengamat pertanian IPB, Edi Santosa, mengkritik terlalu bebasnya perdagangan beras. Ia menilai siapa pun saat ini bisa membeli langsung dari penggilingan, tanpa pengawasan atau pencatatan.

“Negara lain itu distribusinya tertib. Tidak sembarang orang bisa beli langsung dari penggilingan,” tegas Edi.

Ia mendorong pemerintah menerbitkan peraturan pemerintah (PP) untuk mengatur distribusi serta menerapkan sistem pelacakan daring (traceability) guna menjamin mutu beras dari hulu ke hilir.

“Dengan sistem itu, masyarakat bisa tahu siapa yang memproduksi dan mendistribusikan beras hanya lewat ponsel. Negara-negara maju sudah menerapkannya, dan kita seharusnya bisa,” tutupnya. (one)

Print Friendly
Catatan Penting: Tulisan ini dilindungi oleh hak cipta. Dilarang keras mengambil, menyalin, atau menyebarluaskan isi tulisan tanpa persetujuan tertulis dari media atau penulis.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *