BISNIS – Penurunan tarif ekspor Indonesia ke Amerika Serikat dari 32% menjadi 19% kerap dielu-elukan sebagai “deal besar”. Namun, di balik angka yang tampak menguntungkan itu, terselip tekanan besar yang berpotensi melemahkan posisi strategis Indonesia.
Amerika Serikat, sebagai timbal balik penurunan tarif, meminta Indonesia membeli produk mereka senilai lebih dari USD 20 miliar. Dari sektor energi, hasil pertanian, hingga puluhan unit pesawat Boeing permintaan ini dinilai membebani fiskal dan menekan industri dalam negeri.
“Ini bukan negosiasi yang setara. Justru berisiko menjadi beban bagi sektor strategis nasional,” ujar Achmad Nur Hidayat, ekonom dan pakar kebijakan publik UPN Veteran Jakarta, Selasa (22/7/2025).
Achmad menilai penurunan tarif ekspor ke 19% belum mencerminkan keadilan dagang. Menurutnya, jika AS tetap memberlakukan tarif 19%, maka Indonesia juga berhak mengenakan tarif serupa terhadap produk mereka.
“Prinsip dagang yang adil adalah reciprocal retaliation. Kalau barang kita dikenai tarif 19%, maka barang dan jasa mereka juga seharusnya dikenai tarif yang sama,” tegasnya.
Ia juga mendorong pemerintah mengenakan digital tax 19% terhadap layanan digital perusahaan AS yang selama ini menguasai pasar Indonesia tanpa kontribusi fiskal yang setara mulai dari iklan digital, cloud computing, hingga platform media sosial.
“Monetisasi mereka mengalir ke Silicon Valley, tapi pajaknya nihil di sini. Saatnya Indonesia menegakkan kedaulatan ekonomi digital,” tambahnya.
AS bukan hanya menekan Indonesia. Uni Eropa pun sedang menghadapi tekanan tarif sepihak yang serupa. Negara-negara BRICS mendesak reformasi sistem perdagangan global agar tidak didominasi negara besar.
“Sudah waktunya Indonesia bersinergi dengan kekuatan multilateral WTO, BRICS+, hingga FTA regional — untuk menolak praktik unilateralisme ala AS,” ucap Achmad.
Di tengah upaya menyelesaikan sejumlah perjanjian FTA dan CEPA, Indonesia diimbau untuk berhati-hati. Jangan sampai pasar terbuka lebar, namun tanpa imbal balik yang melindungi kepentingan nasional.
Achmad menekankan bahwa strategi terbaik bukanlah menerima tekanan dan memperbesar impor, melainkan:
-
Menuntut kesetaraan tarif
-
Mewajibkan transfer teknologi
-
Mendorong investasi produktif
-
Menguatkan nilai tambah domestik
“Kita harus belajar dari pengalaman ini. Ke depan, diplomasi ekonomi harus mencerminkan kedaulatan dan berpihak pada rakyat,” pungkasnya. (one)