TEHERAN – Fajar belum merekah ketika langit Timur Tengah berubah jadi medan perang. Lebih dari 300 rudal balistik Iran melesat menembus angkasa, menghantam jantung pertahanan militer Israel dari pangkalan udara Nevatim hingga pusat kendali strategis di Dimona. Serangan itu disebut sebagai “pembalasan” atas serangan drone Israel beberapa pekan sebelumnya.
Tak tinggal diam, Israel membalas cepat. 250 rudal pertahanan Iron Dome dan Patriot ditembakkan ke langit, diiringi gelombang serangan balasan ke kota-kota utama Iran seperti Kerman dan Esfahan. Sirine, ledakan, dan langit merah menyala kini jadi latar harian di dua negara yang telah lama berseteru.
Presiden Iran, dalam pidato darurat yang disiarkan nasional, menyatakan:
“Israel akan membayar harga penuh. Armada Amerika di Teluk tidak akan aman.”
Tak butuh waktu lama. Presiden Amerika Serikat menggelar konferensi pers dadakan dan menyebut serangan ke Israel sebagai “tindakan agresi yang tidak dapat ditoleransi.” Dua kapal induk dan ratusan pesawat tempur AS kini dikerahkan ke Laut Merah dan Mediterania Timur.
Sementara itu, Perdana Menteri Israel menyatakan dengan tegas:
“Setiap inci tanah Israel akan kami lindungi. Dengan darah, jika perlu.”
Uni Eropa mengutuk aksi militer kedua pihak dan mendesak de-eskalasi. Tapi di belakang layar, kabar beredar bahwa Rusia dan Tiongkok telah diam-diam meningkatkan pasokan senjata ke Iran, memicu ketegangan baru antara Blok Barat dan Timur.
Negara-negara Teluk seperti Arab Saudi dan UEA menyuarakan kekhawatiran akan konflik regional yang bisa meluas, apalagi dengan potensi eksodus pengungsi dan kehancuran ekonomi kawasan.
Serangan rudal dan perang terbuka ini langsung mengguncang pasar global. Harga minyak mentah melonjak di atas $150 per barel. Bursa saham dari Tokyo hingga New York anjlok tajam. Bank Dunia dan IMF memperingatkan ancaman resesi global, terutama jika rantai pasok energi dan pangan Timur Tengah terganggu lebih lama.
Sementara itu, kehidupan warga sipil berubah drastis. Di Israel, jutaan warga berlindung di bunker bawah tanah. Di Iran, warga sipil mulai memenuhi jalan-jalan dengan protes anti-perang, menuntut deeskalasi di tengah hancurnya infrastruktur.
Para pakar keamanan memperingatkan: keterlibatan militer AS bisa menjadi katalis domino global. Jika Rusia atau China terjun langsung membela Iran, maka NATO pun bisa ikut terseret dan titik nyala baru akan muncul di Eropa Timur atau Asia Timur.
Lebih mengkhawatirkan lagi, para analis menyebut risiko nyata konflik nuklir. Iran, meski belum dikonfirmasi sebagai negara nuklir, diyakini memiliki kapasitas teknis canggih. Israel sendiri telah lama dicurigai memiliki senjata nuklir menjadikan ketegangan ini sebagai permainan api yang mematikan.
Di tengah ancaman perang global, diplomasi maraton dilakukan secara tertutup. Negara-negara netral seperti Swiss, Norwegia, Turki, dan Brasil berupaya membuka jalur komunikasi rahasia antara Teheran dan Yerusalem.
Namun waktu terus berdetak. Langkah diplomasi bisa jadi tinggal detik penentu sebelum dunia benar-benar terjerumus dalam Perang Dunia ke-3. (one)
- Like
- Digg
- Tumblr
- VKontakte
- Buffer
- Love This
- Odnoklassniki
- Meneame
- Blogger
- Amazon
- Yahoo Mail
- Gmail
- AOL
- Newsvine
- HackerNews
- Evernote
- MySpace
- Mail.ru
- Viadeo
- Line
- Comments
- SMS
- Viber
- Telegram
- Subscribe
- Facebook Messenger
- Kakao
- LiveJournal
- Yammer
- Edgar
- Fintel
- Mix
- Instapaper
- Copy Link