Bendera Bajak Laut One Piece Berkibar Menjelang 17 Agustus: Simbol Perlawanan atau Nasionalisme Gaya Baru?

Bendera One Piece Jadi Ikon Nasionalisme Gaya Baru

JAKARTA – Jelang Hari Ulang Tahun ke-80 Republik Indonesia, bendera tak biasa mulai bermunculan di berbagai sudut kota. Bukan Sang Saka Merah Putih yang jadi sorotan, melainkan bendera bajak laut ala anime One Piece  lengkap dengan lambang tengkorak dan topi jerami.

Fenomena ini memicu perdebatan. Di satu sisi, sebagian pejabat menyebutnya provokatif dan mengganggu persatuan bangsa. Namun di sisi lain, banyak warga dan pakar hukum tata negara melihatnya sebagai ekspresi nasionalisme alternatif sebuah kritik terhadap pemerintah yang dirasa kian menjauh dari rakyatnya.

Bacaan Lainnya

Bagi Anchy (38), warga Kendari, Sulawesi Tenggara, bendera bajak laut dari serial One Piece bukan sekadar gimmick penggemar. “Saya pasang gambar benderanya di status WhatsApp. Itu bentuk harapan,” katanya.

Menurutnya, cerita One Piece justru jauh dari unsur provokasi. Di balik petualangan para bajak laut, tersimpan kritik sosial terhadap kekuasaan yang korup, nepotis, dan anti-kritik ciri khas World Government (WG) dalam serial tersebut.

“WG itu mirip-mirip elite kita sekarang. Suka pesta, enggan dikritik, dan abai terhadap rakyat kecil. Tapi di situ, bajak laut justru jadi simbol pembela rakyat,” tutur Anchy.

Hal senada disampaikan Satya (32), seorang nakama sebutan untuk penggemar One Piece. Ia bahkan memasang bendera Jolly Roger di depan rumahnya. “Ini bentuk protes terhadap kebijakan pascareformasi yang semakin tak berpihak pada rakyat,” ujarnya.

Satya menegaskan bahwa ini bukan bentuk kebencian terhadap negara, melainkan cinta. “Kalau kita diam, kita mengizinkan ketidakadilan terus berjalan. Negara ini milik bersama. Kita punya hak untuk bersuara,” tegasnya.

Fenomena ini juga mendapat perhatian dari akademisi. Gugun El Guyanie, pakar hukum tata negara dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, menyebut bendera One Piece sebagai bentuk ekspresi yang sah.

“Kalau dibilang memecah belah bangsa, justru kebijakan pemerintah saat ini yang lebih berpotensi menciptakan jurang,” ungkap Gugun.

Ia merujuk pada beberapa kebijakan kontroversial pemerintahan Presiden Prabowo, seperti rencana pemblokiran rekening dan pengambilalihan tanah tanpa persetujuan rakyat. “Itu yang bikin masyarakat merasa tidak didengar,” ujarnya.

Bahkan, langkah Presiden yang mendadak meminta DPR menyetujui amnesti bagi tokoh politik tertentu tanpa transparansi juga dinilai sebagai bentuk pemerintahan yang semakin tertutup.

Menurut Gugun, rakyat tidak bisa dipaksa mengekspresikan nasionalisme hanya dengan cara seremonial. “Rakyat tidak perlu diajari nasionalisme. Justru negara yang harus belajar dari rakyat bagaimana mencintai bangsa dengan tulus dan kritis.”

Ia menyebut kibaran bendera bajak laut ini sebagai cerminan bahwa rakyat masih peduli, tapi kecewa. Bahwa kemerdekaan hari ini bukan sekadar mengenang masa lalu, tapi juga perjuangan baru melawan ketidakadilan yang nyata di depan mata. (one)

Print Friendly
Catatan Penting: Tulisan ini dilindungi oleh hak cipta. Dilarang keras mengambil, menyalin, atau menyebarluaskan isi tulisan tanpa persetujuan tertulis dari media atau penulis.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *