JAMBI – Di tengah rindangnya pepohonan dan hamparan reruntuhan candi kuno yang menyimpan kisah kejayaan masa lalu, Candi Muarojambi berdiri sebagai saksi bisu peradaban Melayu-Buddha yang pernah jaya antara abad ke-7 hingga ke-13. Dengan luas hampir 4.000 hektar, situs ini bukan hanya kompleks percandian terbesar di Asia Tenggara, tetapi juga salah satu aset budaya terpenting Indonesia yang tengah menanti pengakuan sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO.
Namun, kemegahan situs bersejarah ini kini berada di ujung tanduk. Aktivitas industri batubara, khususnya praktik penumpukan atau stockpile yang dilakukan secara sembarangan, telah menodai kesakralan dan mengancam kelestarian situs warisan ini. Desa-desa yang berada di dalam zona inti kawasan cagar budaya seperti Muara Jambi, Tebat Patah, dan Kemingking Dalam kini berubah menjadi jalur sibuk kendaraan berat dan debu batubara.
“Candi-candi ini bukan hanya batu bata kuno. Mereka adalah halaman-halaman sejarah kita,” ujar seorang arkeolog lokal yang prihatin melihat kondisi terkini.
Tumpukan batubara tidak hanya mencemari udara dan merusak pemandangan, tetapi juga mempercepat pelapukan struktur candi yang rentan. Getaran dari kendaraan tambang mengancam kestabilan struktur bangunan, sementara gangguan visual menghancurkan keutuhan lanskap budaya faktor penting dalam penilaian UNESCO.
Yang lebih ironis, berbagai regulasi sebenarnya telah dibuat untuk melindungi situs ini. Dari Undang-Undang Cagar Budaya hingga Keputusan Menteri terkait larangan aktivitas tambang di kawasan Candi Muarojambi, semua telah tersedia. Sayangnya, implementasi di lapangan masih jauh dari harapan. Penegakan hukum yang lemah, koordinasi antarinstansi yang terfragmentasi, dan minimnya keterlibatan masyarakat dalam pengawasan menciptakan celah bagi industri tambang untuk terus beroperasi.
“Kita punya aturan, tapi siapa yang menegakkan?” kritik seorang tokoh adat setempat yang kecewa dengan lemahnya perlindungan.
Sementara industri batubara terus menggerus warisan leluhur, potensi luar biasa yang dimiliki Candi Muarojambi justru belum digarap secara maksimal. Jika dikelola dengan pendekatan konservasi yang terintegrasi, kawasan ini bisa menjadi pusat edukasi, destinasi wisata spiritual, hingga motor penggerak ekonomi kreatif berbasis budaya.
Solusinya bukan sekadar menghentikan tambang, tetapi membangun alternatif. Pemerintah daerah harus segera mengevaluasi seluruh izin stockpile dan menindak tegas pelanggaran. Lebih jauh, perlu dirancang strategi ekonomi berkelanjutan seperti pengembangan pariwisata sejarah dan ekowisata budaya. Kolaborasi multipihak—akademisi, tokoh adat, komunitas budaya, dan pelaku usaha harus digalang dalam merumuskan kebijakan berbasis data dan kearifan lokal.
Pelestarian Candi Muarojambi bukan hanya soal menjaga bata tua, melainkan merawat jati diri bangsa. Jika kita gagal melindunginya hari ini, generasi mendatang hanya akan mengenal warisan ini lewat foto dan cerita. Kini saatnya membuktikan bahwa pembangunan dan pelestarian bukan dua arah yang bertentangan, tetapi bisa berjalan seiring dalam satu langkah maju sebagai bangsa beradab.
“Candi Muarojambi adalah warisan, bukan korban kemajuan.” Sebuah pengingat yang semestinya menjadi kompas bagi arah pembangunan kita ke depan. (one)
- Like
- Digg
- Tumblr
- VKontakte
- Buffer
- Love This
- Odnoklassniki
- Meneame
- Blogger
- Amazon
- Yahoo Mail
- Gmail
- AOL
- Newsvine
- HackerNews
- Evernote
- MySpace
- Mail.ru
- Viadeo
- Line
- Comments
- SMS
- Viber
- Telegram
- Subscribe
- Facebook Messenger
- Kakao
- LiveJournal
- Yammer
- Edgar
- Fintel
- Mix
- Instapaper
- Copy Link