JAMBI – Di tengah kemajuan teknologi dan derasnya arus globalisasi di tambah lagi dengan gaya hidup serba cepat yang menjadi tren yang tidak terhindarkan, sebagian generasi muda terpengaruh oleh budaya instan, di mana proses panjang sering kali dihindari karena lebih terbiasa dengan kemudahan digital.
Generasi ini tumbuh bersama teknologi dan media sosial seperti Tiktok dan Instagram yang menjadi cerminan nyata budaya instan, Cepat tahu, cepat puas dan juga cepat viral. Namun sayangnya, kecepatan tersebut sering kali tidak diimbangi dengan kedalaman pemahaman dan nilai – nilai kebangsaan.
Budaya instan ini sudah menjadi bagian dari keseharian, terutama dikalangan remaja. Mulai dari makanan cepat saji, informasi singkat, hingga kepuasan emosional yang muncul dari like dan komentar. Dibalik kenyamanan ini, ada konsekuensi serius nilai nilai karakter kebangsaan seperti gotong royong, toleransi, cinta tanah air dan integritas mulai tergeser dalam kehidupan sehari hari.
Padahal pemerintahan Indonesia sebenarnya telah mengupayakan berbagai kebijakan untuk memperkuat karakter bangsa. Salah satunya melalui Gerakan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) yang diluncurkan sejak 2016 oleh kementerian pendidikan dan kebudayan.
Program ini bertujuan membentuk peserta didik yang religius, nasionalis, mandiri dan gotong royong, dan berintegritas. Namun, pertanyaannya apakah kebijakan ini benar benar menyentuh akar permasalahan yang dihadapi generasi muda saat ini?
Generasi Z kini hidup dalam ekosistem digital yang menyajikan konten secara cepat dan ringkas. Menurut laporan We Are Social pada februari 2025 yang dikutip dari GoodStats, jumlah penggunaan media sosial didunia mencapai 5,24 miliar, meningkat dari 5,04 miliar pada tahun sebelumnya.
Indonesia bahkan tercatat sebagai salah satu negara dengan durasi penggunaan media sosial tertinggi, rata – rata 188 menit per hari atau sekitar 3 jam 8 menit. Waktu layar tertinggi ini berdampak pada menurunnya interaksi sosial langsung padahal hal ini yang menjadi ruang untuk tumbuhnya karakter gotong royong dan toleransi.
Pendidikan karakter tidak bisa dibangun secara instan, karena membangun pendidikan karakter membutuhkan proses panjang, keteladanaan dan konsistensi. Sayangnya pendidikan formal belum sepenuhnya efektif dalam menanamkan nilai karakter karena banyak siswa yang menggagap pelajaran di sekolah itu membosankan dan tidak relevan dengan kehidupan nyata. Akibatnya, pembelajaran karakter sering kali hanya menjadi wacana, bukan pembentukan nyata.
Lebih memperihatinkan lagi, nilai – nilai khas bangsa Indonesia seperti gotong royong dan toleransi kini mulai memudar. Media sosial, yang seharusnya menjadi ruang dialog dan berbagi wawasan, justru menjadi tempat konflik, hoaks, ujaran kebencian. Ini menjadi bukti nyata bahwa tanpa etika digital dan pemahaman karakter, teknologi bisa mempercepat kerusakan sosial.
Namun, teknologi tidak selalu berdampak negatif. Media sosial juga dapat berpotensi besar dalam membangun karakter jika digunakan dengan bijak. Berbagai kampanye sosial, gerakan literasi digital, hingga konten edukatif tentang kebangsaan telah banyak menyebar di Tiktok dan Instagram. Ini menunjukan bahwa dengan pendekatan yang kreatif dan relevan, karakter kebangsaan tetap bisa hidup di era digital.
Lalu apa yang bisa kita lakukan?
Pertama, pendidikan karakter harus dibuat lebih hidup dan relevan. Guru tidak cukup hanya memberi teori, tapi juga menciptakan ruang praktik diskusi kebangsaan, proyek sosial, dan kegiatan lintas budaya.
Kedua, pemerintah harus lebih selektif dalam memberikan panggung kepada tokoh publik karena mereka yang menjadi panutan generasi muda. Mereka yang menjadi panutan seharusnya benar benar mencerminkan nilai kebangsaan.
Ketiga, media sosial perlu dilihat sarana edukasi. Konten – konten kreatif yang mengangkat nilai Pancasila, keberagaman dan toleransi harus mendapat ruang yang besar.
Sebagai generasi muda, kita memiliki tanggung jawab besar. Kita harus bijak dalam memanfaatkan teknologi, kritis terhadap informasi yang beredar, dan tetap memegang teguh nilai-nilai luhur bangsa. Karakter kebangsaan tidak akan bertahan jika terus dikalahkan oleh budaya instan. Butuh sinergi antara keluarga, sekolah, masyarakat, dan negara untuk mengembalikan jati diri bangsa yang berakar kuat pada nilai-nilai Pancasila.
“karakter bangsa bukan sesuatu yang diwariskan, melainkan dibentuk melalui kesadaran, keteladanan, konsisten dan tindakan bersama.” (*)
- Like
- Digg
- Tumblr
- VKontakte
- Buffer
- Love This
- Odnoklassniki
- Meneame
- Blogger
- Amazon
- Yahoo Mail
- Gmail
- AOL
- Newsvine
- HackerNews
- Evernote
- MySpace
- Mail.ru
- Viadeo
- Line
- Comments
- SMS
- Viber
- Telegram
- Subscribe
- Facebook Messenger
- Kakao
- LiveJournal
- Yammer
- Edgar
- Fintel
- Mix
- Instapaper
- Copy Link