Menghidupkan Desa, Menumbuhkan Wisata: Potret Dinamika dan Tantangan Pembangunan Desa di Provinsi Jambi

Thamrin B Bachri

JAMBI – Di tengah derasnya arus urbanisasi yang terus memindahkan denyut kehidupan dari desa ke kota, Provinsi Jambi mencoba membalik arah. Dengan 1.414 desa tersebar di wilayahnya dan sekitar 80 desa yang telah diajukan menjadi bagian dari program Desa Wisata (BPS Prov. Jambi, 2024), pemerintah daerah berupaya keras memaksimalkan potensi desa sebagai tulang punggung pembangunan berkelanjutan—baik dari sisi ekonomi, sosial, maupun pariwisata.

Gubernur Jambi, Dr. H. Al Haris, S.Sos., M.H., dalam setiap agenda Perjalanan Pejabat Tidur di Dusun (Pertisun), secara konsisten menyerukan pentingnya optimalisasi seluruh potensi desa. Dalam dialog dengan masyarakat, ia menekankan bahwa sektor pertanian, perikanan, perkebunan, ekonomi kreatif, dan tentu saja pariwisata, harus dikelola bersama demi kesejahteraan kolektif warga desa.

Bacaan Lainnya

Namun, membangkitkan desa bukan perkara mudah. Selama bertahun-tahun, desa telah menjadi korban diam-diam dari modernisasi dan kemajuan teknologi. Urbanisasi bukan hanya menyedot tenaga kerja, tetapi juga secara bertahap menggantikan fungsi desa sebagai pusat produksi pangan. Ironisnya, walau jumlah tenaga kerja berkurang, teknologi pertanian modern justru meningkatkan produktivitas. Efek sampingnya: semakin sedikit kebutuhan terhadap lahan dan tenaga manusia, dan semakin besar ketergantungan desa pada kota.

Tak hanya soal tenaga kerja, desa juga semakin tergantung pada kota dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari, mulai dari bahan bakar, pendidikan, hingga layanan kesehatan. Fenomena ini menjadikan desa perlahan-lahan kehilangan daya tarik sebagai tempat tinggal. Kaum muda meninggalkan desa demi pendidikan dan hiburan. Kaum tua pun memilih kota untuk mendapatkan layanan sosial yang lebih baik.

Sementara itu, modernisasi terus mengikis wajah tradisional desa. Gaya hidup urban menjangkiti, dan desa-desa perlahan berubah menjadi perkampungan dengan arsitektur dan budaya kota. Peternakan dan pertanian pun kini tak lagi eksklusif milik pedesaan—produksi telur, susu, dan daging kini bisa dikelola secara massal bahkan dari kota besar.

Di tengah lanskap yang berubah ini, muncul pertanyaan penting: jika desa sudah mirip kota, apa lagi daya tariknya bagi wisatawan? Jawabannya ada pada bagaimana desa bisa menata diri, bukan sekadar mempertahankan identitas, tetapi mengemas ulang potensi alam dan budaya menjadi produk wisata yang menarik.

Di beberapa negara, desa telah lama berfungsi ganda sebagai penghasil pangan sekaligus kawasan rekreasi. Inilah yang tengah coba digarap oleh Provinsi Jambi. Aktivitas wisata berbasis alam seperti berjalan kaki, bertualang tanpa kendaraan bermotor, hingga menyelami kehidupan agraris, menjadi tawaran unik yang tidak bisa diberikan kota.

Namun pariwisata pedesaan bukan solusi instan. Di balik potensi, tersimpan ancaman serius: jika desa sampai mengalami depopulasi total, maka sarana vital seperti jalan, pompa bensin, dan penginapan akan mati suri. Tanpa infrastruktur dan warga, tak ada wisata yang bisa dijalankan.

Untuk itu, pembangunan desa tak bisa berdiri sendiri. Diperlukan kebijakan dan langkah konkret dari pemerintah pusat hingga daerah. Pemerintah Indonesia telah menyusun kerangka pembangunan desa dengan pendekatan geografis.

Di Jawa dan Bali, misalnya, desa-desa cenderung padat penduduk dan memiliki infrastruktur memadai, namun terkendala keterbatasan lahan dan degradasi lingkungan. Sebaliknya, desa-desa di luar Jawa dan Bali, termasuk di Jambi, masih jarang penduduk, dengan infrastruktur terbatas dan struktur pemerintahan desa yang perlu ditingkatkan. Pola permukiman yang terpencar serta praktik pertanian berpindah juga menimbulkan tantangan ekologis.

Masalah lain seperti minimnya keterampilan pemuda desa, rendahnya kualitas perumahan, hingga buruknya akses air bersih dan listrik, menjadi tantangan pembangunan yang tidak boleh diabaikan. Pemerintah perlu merangkul partisipasi masyarakat desa, mendorong mereka menjadi subjek pembangunan, bukan objek belaka.

Pemerintah Provinsi Jambi telah mulai merintis hal tersebut dengan mendorong terbentuknya klasifikasi desa wisata: mulai dari Desa Wisata Rintisan, Berkembang, hingga Maju. Upaya ini diharapkan mampu memantik kesadaran warga bahwa potensi lokal adalah kekuatan utama pembangunan.

Pembangunan desa diharapkan mampu menahan laju urbanisasi dengan menciptakan pusat pertumbuhan baru. Kota-kota kecil dan menengah di sekitar desa bisa menjadi pengumpul dan penyalur hasil pertanian, sekaligus penyedia kebutuhan pokok masyarakat. Desa pun menjadi bagian integral dari pembangunan daerah.

Pariwisata menjadi salah satu jembatan strategis dalam proses ini. Dengan mengembangkan wisata berbasis minat khusus (special interest tourism), memperluas destinasi wisata, dan membangun citra daerah, Jambi berpeluang besar menempatkan diri sebagai pemain utama dalam peta pariwisata domestik, bahkan internasional.

Kini saatnya desa tak lagi menjadi “halaman belakang” pembangunan, melainkan halaman depan yang menyambut dengan identitas, keramahan, dan kekayaan alam dan budayanya. Membangun desa adalah membangun masa depan bangsa, dan Provinsi Jambi tampaknya telah memahami hal itu dengan baik.

Tinggal bagaimana semua pihak pemerintah, masyarakat, dan pelaku wisata bekerja bersama menjaga asa, menyemai harapan, dan menuai masa depan yang lebih baik dari desa. (one)

Print Friendly
Catatan Penting: Tulisan ini dilindungi oleh hak cipta. Dilarang keras mengambil, menyalin, atau menyebarluaskan isi tulisan tanpa persetujuan tertulis dari media atau penulis.

Pos terkait